Kajian Fiqih – Senin, 2 Jumadil Akhir 1444 H / 26 Desember 2022
بسم الله الرحمن الرحيم
أَشْهَدُ اَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰه
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
ASH-SHULHU Dalam Muamalah
Kata al-shulhu (الصلح) merupakan bentuk masdar dari shalaha, yashlihu, shulhan, yang mempunyai arti “qath’ al-munaza’ah” atau “memutuskan suatu persengketaan atau perselisihan”. Sedangkan arti shulh (perdamaian) menurut syariat adalah suatu bentuk akad yang dapat menyelesaikan adanya pertentangan atau perselisihan.
Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam menerangkan bahwa Shulh (perdamaian) adalah akad perjanjian untuk menghilangkan rasa dendam, permusuhan atau perbantahan. (Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet.ke-38, h. 319)
Dalil Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman,
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
“Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An-Nisaa’: 128)
Di dalam QS an-Nisa: 35, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS an-Nisa: 35)
Dalil Hadis
Nabi bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ» زَادَ أَحْمَدُ، «إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا، أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا». (سنن أبي داود (3/ 304)
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. (HR. Abu Dawud).
Hukum Terkait Ash-Shulhu
Ash-Shulhu dalam Kitab Klasik
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:
وَيَصِحُّ الصُّلْحُ مَعَ الإِقْرَارِ فِي الأَمْوَالِ وَمَا أَفْضَي إِلَيْهَا وَهُوَ نَوْعَانِ: إِبْرَاءٌ وَمُعَاوَضَةٌ ، فَالإِبْرَاءُ : اِقْتِصَارُهُ مِنْ حَقِّهِ عَلَى بَعْضِهِ وَلاَ يَجُوْزُ تَعْلِيْقُهُ عَلَى شَرْطٍ وَ المُعَاوَضَةُ: عُدُوْلُهُ عَنْ حَقِّهِ إِلَى غَيْرِهِ وَ يَجْرِي عَلَيْهِ حُكْمُ البَيْعِ.
Perdamaian dalam persengkataan (ash-shulhu) adalah sah dengan syarat si terdakwa telah mengakui tuduhan si pendakwa, entah dalam harta maupun masalah lain yang berhubungan dengan harta. Perdamaian ini ada dua macam: ibra’ dan mu’awadhah.
Contoh Ash-Shulhu
a) Dalam Akad Hutang-Piutang
Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, “Bagaimana kalau kita tentukan saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal sebenarnya kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?” Apabila Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh (perdamaian) yang diperbolehkan.
Termasuk hutang uang yang sudah sangat lama tidak dibayar, sehingga nilai uang mengalami penurunan
b) Dalam Hak Nafkah Istri
Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya, kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, “Aku ingin tetap menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku dikurangi.” Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka. [an Nisâ’/4:128]
c) Dalam Khiyar Aib Jual-Beli
Berdamai dalam khiyâr ‘aib (hak pembeli untuk membatalkan transaksi karena ada cacat pada barang)
Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikannya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si penjual mengatakan, “Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?”. Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori berdamai yang diperbolehkan.
d) Dalam Khiyar Syarat Jual-Beli
Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah disepakati antara penjual dan pembeli)
Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut. Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad dan mengatakan, “Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan kita tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis? Sebagai kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang.”
e) Dalam Hak Syuf’ah
Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak syuf’ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh Ahmad dan Yasir.
Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau tidak menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini. Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepadamu.”
Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.
#PERTANYAAN
1. Pernah ada pasangan suami istri, suami mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, tetapi ada saudaranya yang mendamaikan akhirnya mereka tidak jadi bercerai, Apakah pasangan tersebut harus nikah Kembali karena pasangan tersebut otomatis jadi akur dan tinggal serumah?
Dalam hukum syariah atau hukum islam, Jika sang suami sudah mengatakan lisan cerai sekali kepada istri, dan setelah itu mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapatkan legalitas negara dan ternyata ada perdamaian maka tidak usah nikah lagi dengan syarat belum melewati masa idah, tetapi jika suami sudah 3x mengatakan cerai secara lisan kepada istri maka ketika ada perdamaian sang suami harus menikahi istrinya tersebut dengan syarat istrinya tersebut sudah nikah lagi dengan orang lain dan berhubungan badan. Hanya saja dalam undang-undang perkawinan di Indonesia belum dianggap sah kalau perceraian tersebut belum melalui jalur pengadilan, padahal kalau secara hukum islam cerai yang dikatakan suami kepada istri pada dasarnya sudah sah, sehingga masih banyak perdebatan tentang ini.
2. Bagaimana hukumnya mencatat hutang menurut Al-Baqorah : 282 wajibkah?
Konsekuensi hukum tentang wajib atau tidaknay mencatat hutang, ulama berbeda pendapat. Hanya saja mayoritas ulama mengatakan hukumnya sunnah walaupun tidak tercatat dan tetap menjadi sah sebagai transaksi hutang piutang jadi setiap pemberi dan pembayar hutang punya kewajiban masing-masing sesuai porsinya yaitu pemberi hutang wajib menagih utang tersebut dan yang diberi utang wajib melunasi utangnya tersebut. Namun sebagaian ulama mengatakan itu wajib untuk dicatat dalam hal mencegah terjadinya konflik dari hutang piutang tadi dikemudian hari.
3. Kalau dalam mazhab Syafi’i hukumnya mencatat hutang bagaimana?
hukumnya sunnah.
4. Jika hutang piutang dihitung dengan emas apakah boleh?
ulama memang mensyaratkan kalau utang emas dibayar dengan emas, yang jadi perbedaan pendapat adalah kalau utangnya adalah uang tetapi bayarnya diganti dengan emas, sebagian ulama membolehkan tetapi Sebagian ulama juga tidak membolehkan karena bisa menjadi riba karena ada selisih dari yang diutangkan, kalau dari awal perjanjian sudah disepakati dengan membayar emas untuk menghindari inflasi, maka hal itu diperbolehkan, tetapi kalau dari awal tidak ada kesepakatan maka sebaiknya dibayar sesuai dengan yang menjadi utang tersebut, lebih amannya adalah utangnya dalam bentuk emas agar dikemudian hari pembayarannya juga dengan emas sehingga tidak terjadi inflasi akibat utang tersebut dan tidak merugikan kedua belah pihak.
5. Ada seseorang yang mau membutuhkan, sebagian dari kita mengatakan “sudah pake saja dulu uangnya”, kata-kata ini kadang membuat orang yang dihutangi tidak paham bahwa dia harus membayar utangnya, dan kita tidak ada catatan atau akad, itu bagaimana hukumnya?
kata-kata tersebut seharusnya sudah harus dipahami hal yang sama, kalau ada kata pake dulu maka seharusnya ada kewajiban untuk mengembalikan atau membayarnya, tapi kalau pengertian tersebut diartikan berbeda maka ini yang menjadi masalah, karena dipikirnya tidak perlu dikembalikan, oleh karena itu sangat penting ketika ada orang yang mau meminjam sebaiknya dicatat dan dibuatkan akad utang piutang sehingga dari awal sudah jelas bahwa ini adalah akadnya utang piutang sehingga masing-masing pihak sudah tahu kewajibannya dan mencegah konflik dimasa yang akan datang. Karena kalau tidak diselesaikan didunia maka akan diselesaikan diakhirat dan ini lebih berat lagi, pahala kita dikurangi karena utang.
wallahu a’lam bishawab
Ditulis oleh Tim Formula Hati (MS)
No Comments
Leave a comment Cancel