Kajian Fiqih – Senin, 11 Jumadil Awal 1444 H / 5 Desember 2022
بسم الله الرحمن الرحيم
أَشْهَدُ اَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰه
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
AKAD HIWALAH & DHAMAN
Hiwalah (Pengalihan Hutang) & Dhaman (Menjamin Hutang Orang Lain)
HUTANG JADI DOSA
- Tidak Membayar Hutang Kepada Allah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: ” نَعَمْ، قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى” (صحيح البخاري، 3/ 35)
Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhumaa : Datang seseorang pada Nabi ﷺ dan berkata : Wahai Rasulullah ﷺ, Sungguh ibuku wafat dan ia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku membayarnya untuknya?, sabda Rasulullah ﷺ : “Betul, dan Hutang pada Allah ﷻ lebih berhak untuk ditunaikan” (HR. Bukhari).
- Tidak Membayar Hutang Kepada Manusia
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ: الكَنْزِ، وَالغُلُولِ، وَالدَّيْنِ دَخَلَ الجَنَّةَ ” (سنن الترمذي، 4/ 138)
“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan berlepas diri dari tiga hal, maka ia masuk surga; (yaitu) sombong, ghulul (khianat dalam hal harta rampasan perang) dan hutang.” (HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ، لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ» (سنن ابن ماجه، 2/ 807)
“Barangsiapa yang mati dan memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, (karena) di sana (akhirat) tidak ada dinar tidak pula dirham.”. (HR. Ibnu Majah).
- Menunda Pembayaran Hutang Padahal Mampu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ». (متفق عليه)
“Mathlul Ghani (orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutang) adalah kezhaliman.” (Muttafaq alaih).
وَيُذْكَرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ» قَالَ سُفْيَانُ: “عِرْضُهُ يَقُولُ: مَطَلْتَنِي وَعُقُوبَتُهُ الحَبْسُ”. (صحيح البخاري، 3/ 118)
“Layyu al-Wajid (orang kaya yang menunda-nunda dalam membayar hutang) halal kehormatannya dan hukumannya.” (HR. Bukhari).
- Mensyaratkan Pembayaran Lebih dari Hutang
عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: “كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا” مَوْقُوفٌ. (السنن الكبرى للبيهقي (5/ 573)
Dari Fadhalah bin Ubaid; seorang shahabat Nabi berkata: Setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba”. Maufuq. (HR. Baihaqi). - Nabi Pernah tak Mau Menshalatkan Orang yang Terlilit Hutang
Dari Salamah bin al-Akwa’ beliau berkata, “Kami duduk-duduk disisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba dibawakan jenazah seraya mereka berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Shalatkanlah mayat ini!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi was allam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian Rasulullah menyhalati jenazah tersebut.
Lalu didatangkan kembali jenazah yang lain dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, “Ya” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan harta?’ Jawab mereka, ‘Ya. Dia meninggalkan harta 3 dinar.’…
… Lalu didatangkan kembali jenazah yang ketiga dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Adakah dia meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, ‘Tidak’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, hutang 3 dinar.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatkanlah teman kalian itu.” Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu berkata, “Shalatilah dia! Wahai Rasûlullâh! Saya yang menanggung utangnya!’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyhalatinya”. (HR. Al-Bukhâri, an-Nasâ’i dan Ahmad)
Doa Agar Terhindar dari Hutang
Dari ‘Aisyah isteri Nabi, dia telah mengabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah SAW di dalam shalat membaca do’a: (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al Masihid Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan hutang). Tiba-tiba ada seseorang berkata kepada beliau, “Kenapa tuan banyak meminta perlindungan dari hutang?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang dia akan cenderung berkata dusta dan berjanji lalu mengingkarinya.” Dan dari Az-Zuhri ia berkata, ‘Urwah bin az-Zubair telah mengabarkan kepadaku, bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata, “Aku mendengar Rasulullah dalam shalatnya meminta perlindungan dari fitnah Dajjal.” (HR Bukhari)
HIWALAH
Pengertian Hiwalah
Secara bahasa hawalah atau hiwalah (حوالة) berasal dari kata dasarnya dalam fi’il madhi : haala – yahuulu – haulan (حال يحول حولا). Secara umum maknanya adalah berpindah atau berubah.
Dikatakan dalam ungkapan bahasa Arab :
وَتَحَوَّل مِنْ مَكَانِهِ : انْتَقَل عَنْهُ
Tahawwala min makanihi berarti berpindah dari tempatnya semula.
Dalam istilah fiqih, hawalah ini sering didefinisikan sebagai
نَقْل الدَّيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ
Pengalihan hutang dari seorang ke orang yang lain.
Misal :
Gambaran Skema Akad:
- A berhutang kepada B uang 1 jt
- C berhutang kepada A uang 1 jt
- A bilang ke B untuk hutangnya ditagihkan ke C saja dengan akad hiwalah
LANDASAN HIWALAH
Dalam Al-Qur’an
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah : 2)
Dalam Hadis
مَطْل الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ
“Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima.” (HR. Ahmad dan Abi Syaibah)
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.“ (HR. at-Tirmidzi dari Amr bin Auf).
Rukun Hiwalah
Rukun Akad:
- Adanya Ijab-Qabul
- Al-Muhil (Orang yang memindahkan hutang); si A
- Al-Muhal (Orang yang memberi pinjaman ke A); si B
- Al-Muhal alaih (Orang yang punya hutang ke A, ditagih B); si C
- Al-Muhal bih (Hutang atau Uangnya)
Kedudukan Akad Hiwalah
Pertama, jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama.
Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
Akad Hiwalah dalam DSN MUI
Ketentuan Hiwalah dalam Fatwa DSN MUI Nomor 12/DSN-MUI/VI/2000
Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
DHAMAN
Dhaman kadang Dhamanah kadang Kafalah
al-Dhamân secara bahasa diartikan sebagai hamâlah (beban), za’âmah (tanggungan) dan kafalah (menanggung) yaitu menjamin orang lain.
Dhaman kadang Dhamanah kadang Kafalah, Dhamân ini maksudnya adalah:
ضَمُّ ذِمَةِ الضَّامِنِ إِلَى ذِمَةِ الْمَضْمُوْنِ عَنْهُ فِيْ إِلْتِزَامِ الْحَقِ الْوَاجِبِ حَالاً وَ مُسْتَقْبَلاَ
Menyatukan tanggung jawab penjamin kepada tanggung jawab orang yang dijamin dalam komitmen untuk menunaikan kewajiban, baik diwaktu itu atau di masa yang akan datang.
Skema Dhaman
Yusuf ingin berhutang pada Mahmud sebesar 500.000 untuk servis motor dan akan dibayar minggu depan.
Yusuf tidak yakin minggu depan ia punya cukup uang, maka ia minta tolong pada Ari untuk menalangi dulu utangnya tanpa imbalan jika saat jatuh tempo ia belum punya uang.
Ari setuju dan menjadi penjamin bagi utang Yusuf pada Mahmud, ini menjadi kebaikan bagi Ari dan ia akan punya hak tagih pada Yusuf setelah membayarkan utang tersebut.
Akad utang dan kafalah dilaksanakan dengan Yusuf sebagai debitur, Mahmud sebagai kreditur, dan Ari sebagai penjamin
Contoh :
A berhutang kepada B
C menjamin hutang dari A kepada B jika tak bisa bayar saat jatuh tempo
Rukun Dhaman
- Ad-Dhamîn atau al-kafîl (orang yang menjamin atau penjamin); si C
- Al-Madhmûn lahu (orang yang diberikan jaminan; si B
- Al-Madhmûn ‘anhu (orang yang dijamin); si A
- Al-Madhmûn (objek jaminan) berupa hutang, uang, barang atau orang
- Sighah (redaksi penjaminan)
Dhaman atau jaminan berlaku hanya menyangkut harta dengan sesama manusia saja
Dalil-Dalil Dhaman
Abu Qatadah Menjamin Hutang Orang Lain
Dari Salamah bin al-Akwa’ beliau berkata, “Kami duduk-duduk disisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba dibawakan jenazah seraya mereka berkata kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Shalatkanlah mayat ini!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi was allam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, “Tidak.” Kemudian Rasulullah menyhalati jenazah tersebut.
Lalu didatangkan kembali jenazah yang lain dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, “Ya” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan harta?’ Jawab mereka, ‘Ya. Dia meninggalkan harta 3 dinar.’…
… Lalu didatangkan kembali jenazah yang ketiga dan mereka berkata, ‘Ya Rasûlullâh! Shalatkanlah mayat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Adakah dia meninggalkan harta?’ Mereka menjawab, ‘Tidak’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah ia memiliki tanggungan hutang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, hutang 3 dinar.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatkanlah teman kalian itu.” Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu berkata, “Shalatilah dia! Wahai Rasûlullâh! Saya yang menanggung utangnya!’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyhalatinya”. (HR. Al-Bukhâri, an-Nasâ’i dan Ahmad)
#PERTANYAAN
- Apa batasan org tsb dianggap gharim (bs dpt uang zakat) ?
Orang yang sudah jatuh tempo hutangnya, tidak punya uang atau asset untuk membayar utangnya. - Kalau seseorang berhutang dan pailit, apakah bisa di ksh zakat mal? Boleh, karena termasuk orang yg berhak menerima zakat. Apakah perlu lihat org yg berhutang (taat atau tidak) saat memberi zakat? Tidak perlu, selama dia muslim berarti boleh diberi zakat.
- Saya pernah buka you tube UAS, beliau bilang sholat yg tertinggal dulu harus di qodo dan 4 mahzab sepakat ? Iya, wajid di qodo, tapi ada ulama yang tidak mewajibkan diganti karena sudah dianggap kafir dan perlu syahadat lagi.
- Dalam hal kita yg menghutangi (piutang) utk modal dengan pola bagi hasil tp tidak tercatat krn teman dekat tp ternyata yg berhutang tdk menepati janji bahkan melarikan diri secara sengaja utk menghindari membayar hutangnya dan tdk berniat membayar. bgmn hukum yg berhutang ini bila yg berhutang sampai meninggal walaupun sdh diberi kelonggaran waktu berkali2 namun janjinya tdk pernah ditepati catatan : akadnya bagi hasil tp semua modal pun dikemplang semua krn yg berhutang tdk berniat mengembalikan dg cara melarikan diri ? tetap dibayarkan hutangnya, tapi sayangnya tidak tercatat. Sehingga kalau ada ahli waris maka wajib membayarkan utangnya sebelum dibagikan harta waris. Di akhirat kelak dapat dari orang yang berhutang tersebut
- Saya punya asisten rmh tgg yg izin mau pulang kampung bbrp hari saja krn ada urusan keluarga, & menitipkan sebagian gajinya krn takut hilang dijalan katanya..tp sdh 1 thn lebih tdk datang2 & hp nya tdk bs dihubungi.. tidak ada yg tau dmn rumahnya..apakah uang yg dia titipkan ini boleh sy sedekahkan ke fakir miskin? Kalau disedekahkan lebih bagus, tapi kalau dia balik ditanyakan Kembali dan dia mau lagi duit tersebut, maka wajib untuk dikembalikan.
wallahu a’lam bishawab
Ditulis oleh Tim Formula Hati (MS)
No Comments
Leave a comment Cancel