1. Arsip Kuliah Al-Hikam (KAH)

KAH01. Pengantar Kuliah Al-Hikam

Kuliah Al-Hikam – Selasa, 25 Muharram 1444H / 23 Agustus 2022

بسم الله الرحمن الرحيم
أَشْهَدُ اَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰه
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Pengantar
Memahami Hikmah Al Hikam

“Hikam dalam Bahasa arab adalah bentuk jamak dari “Hikmah”. Dalam bahasa sehari-hari, hikmah mengandung arti berupa ”sisi baik dari sesuatu”. Sepahit apapun sesuatu peristiwa, pasti ada hikmah atau ada sisi baiknya.

Kalimat Al Hikam selalu tergambar dengan Ilmu Tasawuf yang ditulis oleh Ibnu Athaillah Iskandary. Pada era itu, kata “hikmah” lebih bernuansa tasawuf. Inti tawasuf adalah pada bagaimana orang bisa dekat dan sedekat-dekatnya dengan Allah. Yang menarik dalam tulisan Ibnu Athaillah adalah bahwa beliau sama sekali menghindari kata tawasuf.
Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir akan melenceng dari ajaran agama islam dalam mempelajari Al Hikam karena petikan-petikan hikmahnya mengandung makna mendalam dan senantiasa didasarkan pada Al Quran & As Sunnah. Hal ini sangat penting karena menjelaskan kedua landasan utama Agama islam tersebut dalam masalah yang berkaitan dengan tauhid, etika dan prilaku sehari-hari.

Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari bernama lengkap Taj al-Din Abu’l Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karim ibn Atha’Allah al-Iskandari al-Judzami al-Maliki al-Shadhili (650 H – 709 H/1252 M – 1309 M.13). Merujuk kepada namanya al-Sakandari atau al-Iskandari, terlihat bahwa ia lahir di kota Iskandariyah (Alexandria), Mesir.
Dalam bidang fikih, dia menganut dan menguasai madzhab Maliki. Sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarekat al-Syadzili. Ia dikenal luas sebagai seorang syekh besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah.

Dan kitab Al-Hikam ini selalu dikaji sepanjang masa, karena:

  1. Kedalaman tentang penjelasan ilmu hati yang tidak mudah ditemukan di dalam mempelajari tasawuf / Tazkiyatun Nafs.
  2. Kitab ini mempunyai kelebihan karena ringkas dan padat makna.
  3. Hikmah-hikmah yang tertulis di dalam kitab ini tidak terbayang dalam pemahaman. Lalu bagaimana dengan Al Hikam-nya Ibnu Atha’illah al Iskandari ini?

Pada era itu kata hikam lebih bernuansa tasawuf. Inti tasawuf adalah pada bagaimana orang bisa sedekat-dekatnya dengan Allah. Beliau menekuni dunia Tazkiyatun Nafs yakni perbaikan perilaku. Dalam bab ini, kita mendapatkan suatu rumusan yang menarik yang mempunyai pemahaman yang dalam tentang Al Quran dan Sunnah. Ibnu Athaillah menjalankan Tasawuf As Sunnah. Beliau sebelum menekuni Tazkiyatun Nafs sudah memahami Al Quran, Sunnah, dan Fiqih sehingga semuanya bisa dijadikan dasar ketika memasuki dunia ini.

  1. Orang yang menerima secara penuh (full) tanpa mau tahu
  2. Tidak ditemukan hal-hal yang menyimpang bahkan sangat dibutuhkan oleh orang-orang untuk lebih mendalami tazkiyatun nafs.
  3. Tidak terlibat pada nama dan fokus pada konten.

Ilmu Tasawuf datang pada Abad ke-2. Untuk menghindari kata tasawuf, maka digunakan Tazkiyatun Nafs.

  • Apa yang harus dilakan untuk sampai ke level Ihsan? Ada iman, Ada ikhlas, ada ihsan.
  • Ketika kita berbicara tentang Iman adalah ketika bisa tafakkur.
  • Ihsan adalah seakan-akan Allah melihatmu.
  • Tazkiyatun Nafs adalah proses menuju kesempurnaan beragama.
  • Sebagian orang menjadikan sesuatu itu menjadi tandingan Allah. Padahal, orang mukmin cinta kepada Allah.
  • Ketika seseorang mendalami suatu ilmu maka ia akan mencapai Makrifat kepada Allah. Ketika seseorang sudah mencapai bab ini maka hatinya akan terang.
  • Al Hikam ditulis oleh orang yang mempunyai makrifat yang tinggi kepada Allah.

HIKMAH PERTAMA

”BERSANDARLAH PADA ALLAH, JANGAN PADA AMAL”

‎مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ

“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana’.”

Ibnu ‘Athailah As-Sakandari berkata: Jangan sekali-kali mengandalkan pada amal perbuatan yang telah kita lakukan untuk memperoleh rida Allah. Jangan pula mengandalkan balasan yang telah Allah janjikan kepada kita; seperti shalat, puasa, sedekah, dan segala jenis kebaikan. Akan tetapi, andalkanlah semua itu pada anugerah, rahmat dan kemurahan Allah swt. Lewat perkataan inilah, yang mendorong kita untuk menghindari sikap bergantung pada selain Allah; termasuk pada amal ibadah.

Sabda Rasulullah saw: “Tidak seorang pun diantara kamu yang dimasukkan ke dalam surga oleh amal perbuatannya. Para sahabat bertanya, “Engkau pun tidak wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali jika Allah melimpahkan kasih sayang-Nya padaku.

Ketika seseorang berdosa, yang pertama-tama dilakukan adalah meminta Ampun kepada Allah SWT. Tidaklah seseorang dimasukkan ke dalam surga karena perbuatan tetapi melainkan karena rahmat Allah. Yang membuat orang masuk surga bukan karena Amal tetapi melainkan karena Rahmat Allah SWT.

Semua keputusan kita hanya kepada keputusan Allah SWT. Artinya, perbuatan kita itu sama sekali tidak memberikan kepastian apakah kita masuk surga atau neraka. Karena sering berbuat dan berbuat sehingga merasa aman, menghitung perbuatannya dan menghitung pahalanya yang disebut mulai bersandar pada perbuatan. Padahal, kita harus bersandar bukan pada perbuatan tetapi bersandar kepada Allah SWT.

Bersandar kepada perbuatan bisa jadi melupakan Allah dan bergeser dari mengharap ridhonya Allah dan menjadi jauh. Ketika seseorang bersandar kepada perbuatannya dan bergeser dari ketaatan kepada Allah sehingga membuat ia sombong, maka ketika banyak melakukan dosa ia lupa meminta Ampun kepada Allah SWT.

Dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

‎يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540)

Ketika seseorang fokus pada perbuatan sehingga sibuk memperbaiki amal tetapi lupa meminta ampun, ini adalah karena hilangnya harapan kepada Allah. Padahal, sesungguhnya Allah Maha Pengampun. Tanda tidak takutnya kepada Allah yaitu besarnya harapan tapi tidak mengharap ampunan kepada Allah SWT.

Untuk itu, yang harus kita lakukan adalah:

  1. Kuatkan Ma’rifat kepada Allah
  2. Perdalam iman kepada Qoda & Qodar
  3. Teruslah mengingat hadist Nabi, “Tidak seorang pun diantara kamu yang dimasukkan ke dalam surga oleh amal perbuatannya.”
  4. Ketika memahami ini, maka takutlah kepada Allah. Seorang Mukmin harus seimbang antara rasa takut dan harapan kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bishowab
Ditulis oleh Tim Formula Hati (UZ)

Comments to: KAH01. Pengantar Kuliah Al-Hikam

Your email address will not be published. Required fields are marked *